Contoh Format Resensi Pementasan Drama
Unknown
Tuesday, January 03, 2012
3
Resensi Pementasan Drama |
Contoh Format Resensi Pementasan Drama. Akses Ilmu kali ini akan menerangkan mengenai format resensi dengan jenis kategori resensi drama. Bagaimana format atau struktur resensi dan apa saja yang harus di bahas di dalamnya, berikut penjelasannya.
I. Data Pementasan:
- Kelompok Pementas : Mahasiswa FKIP Bahasa dan Sastra Indonesia UNS angkatan 2007
- Bentuk Pementasan : Teater (didokumentasikan dalam bentuk CD)
- Naskah : Potret (terlampir)
- Waktu Pementasan : Akhir semester enam, tahun 2010 Pukul 09.00 – selesai
- Tempat Pementasan : Teater Arena TBJT, Surakarta.
- Penonton : Dosen FKIP Bahasa dan Sastra Indonesia, Mahasiswa FKIP dari berbagai angkatan, Mahasiswa dari fakultas lain, dan Mahasiswa dari luar UNS.
- Pementas : Mahasiswa FKIP PBSI UNS angkatan 2007
- PLECIT : diperankan oleh Aprika
- YU SRI : diperankan oleh Ika Hindriyati
- YATI : diperankan oleh Winarni
- GINO : diperankan oleh Retno
- GUNDHUL : diperankan oleh Ratih Riandini P.
- PAK BEI : diperankan oleh Auriga Maulana K
- BU BEI : diperankan oleh Meilinda
- MBAH DUL : diperankan oleh Hery Jerry Bintang
- MAS PON : diperankan oleh Aditya Permana S.
- KARMIN : diperankan oleh Ciptono
- MINDRING : diperankan oleh Rosika
II. Ringkasan Isi Pementasan:
Dalam teater yang berjudul POTRET yang dipentaskan oleh mahasiswa FKIP Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Sebelas Maret Surakarta angkatan 2007 ini mengisahkan tentang kehidupan di perkampungan kumuh yang mana masyarakatnya tidak mempunyai semangat untuk bekerja keras membanting tulang. Keseharian masyarakat tersebut hanya melalukan perjudian yang menggantungkan nasib dari kemujuran judi Cap Ji Kia.
Kisah ini terfokus pada kisah keluarga yang berantakan antara Pak Bei dan Bu Bei yang sering bertengkar. Konflik tersebut muncul karena Pak Bei yang suka menghabiskan uang hanya untuk bermain Cap Ji Kia. Sedangkan sebagian perempuan hanya menghabiskan waktunya dengan aktivitas saling mencari kutu (petan). Pak Bei merupakan sosok pria yang mudah marah, tempramen dan sering berbicara kasar, tidak hanya dengan istrinya tetapi juga dengan tetangga yang ikut campur urusan keluarganya. Sedangkan Bu Bei merupakan istri yang selalu mempedulikan nasib anaknya agar menjadi anak yang pintar dan tida lupa sembahyang, sabar, dan selalu menasihati kepada suamunya. Tak pelak, hal itu sering mengakibatkan percekcokan di dalam rumah tangga. Kemarahan dalam rumah tangga tersebut sering membuat berisik para tetangga karena suaranya yang keras dan tidak mempunyai malu bila didengar para tetangga.
Ketika itu Pak Bei datang sembari mengelus-elus kepala ayam yang sering dipeliharanya. Di samping rumahnya terlihat Gino dan Gundhul yang sedang asik bermain cap jikia dan Yu Sri dan Yati yang saling mencari kutu kepala. Melihat itu, Pak Bei meneruskan bermain seket, mengotak-atik nomor yang sekiranya nanti keluar dalam jap jikia. Tidak lama, terdengar suara Mbah Dul yang sedang mencari cucunya. Ketika Mbah Dul bertanya kepada Pak Bei mengenai anaknya, Pak Bei menjawabnya dengan jawaban yang tidak mengenakkan. Masalah itu bertambah panjang ketika keduanya saling berdebat dan tidak hanya membicarakan masalah Mbah Dul, tetapi sampai masalah anjing yang dibawa-bawa, masalah cap jikia, sampai masalah ibadah dan surga.
Pertengaran semakin memuncak ketika Bu Bei berusaha menasihati Pak Bei yang hari-hari selalu bermain “sonji”. Hal tersebut membuat hati Pak Bei terasa panas. Mendengar suara Mbah Dul yang tiba-tiba menyahut dari dalam membuat tambah terbakar hati Pak Bei. Suasana kemarahan tersebut tergambar dalam cuplikan dialog antara Pak Bei dan Mbah Dul seperti berikut.
“Wis, wis. Wong yen ra mudheng agomo, isine mung ngeyel. Koyo ngono kok ngaku-aku santri, anak kyayi! Ojo ngino karo agomo, kowe bakal dhadi intipe neroko!”
“Suwargo, neroko kuwi urusane sok mben, Mbah. Sing penting saiki niki nggih dhuwit. Mung dhuwit, Mbah.”
“Dhuwit lan bondho, kuwi mung titipan, ora langgeng. Opo kowe ning kubur arep sangu dhuwit lan bondho!”
“Pokoke sing penting saiki, sing kuwoso saiki, kuwi mung dhuwit, dhuwit. Ndhuwe dhuwit akeh, arep ngopo-ngopo ki sarwo gampang. Bedho yen ra dhuwe dhuwit, sak enggon-enggon mung dhi anggep remeh. Wong ndhuwe dhuwit kuwi mulyo. Kuwoso. Sak uni-unine payu. Abang iso dhadi ireng. Ireng iso dhadi pitih. Kuwi wong sing dhuwe dhuwit. Bedho yen ora dhuwe dhuwit. Pol-pole mung dhadi pesakitan. Dhadi gedhibal.
“O…dhelalah wong ki yen ra dhuwe iman. Dikandani malak khutbah. Titenono, kowe arep nemoni opo ! Ciloko saklawase kowe !”
“Ciloko yo ben, iki urusanku dhewe. Kowe ra sah melu-melu. Urusen awakmu dhewe. Wong tuwo ra pantes diajeni. Ora nggolek dhalan padhang, malah nggawe perkoro. Kok koyo wis tau ngerti suwargo, neroko. Titik wae yo dhurung, kok kakehan cangkem.”
Selang berlalu, Mas Pon, tambang cap jikia, datang menghampiri Pak Bei yang memberitahu bahwa Pak Bei kalah lagi dalam judi. Keberadaan Mas Pon membuat sangat marah Bu Bei karena menghasut Pak Bei agar menjual ayam satu-satunya itu dan uangnya untuk memasang cap jikia. Kemarahan Bu Bei tak terbendung lagi ketika Pak Bei dihampiri Si Mindring yang ingin menagih hutang kepada Pak Bei karena hutang-hutangnya yang tidak sengaja diketahui istrinya. Ternyata Pak Bei selain mempergunakan uang yang seharusnya untuk menafkahi keluarga tetapi digunakan untuk bermain judi cap jikia, ternyata tanpa sepengetahuan Bu Bei, Pak Bei juga berusaha meminjam dan hutang di luar-luar. Sayangnya, kemenagan pun tak kunjung didapatkan. Yang didapat hanya luapan kemarahan sang istri dan depresi yang semakin menjadi-jadi karena ingin dilaporkan kepada polisi andai hutangnya tidak segera dilunasi. Sang istri pun semakin marah dan meninggalkannya. Ending tersebut diakhiri dengan menggantungnya Pak Bei yang menjadi penutup dari cerita terebut.
III. Isi Resensi:
a. Aspek bentuk:
Dilihat dari aspek bentuk, menurut saya pementasan Teater ini cukup baik, dengan melibatkan pemain yang jumlahnya lumayan banyak. Sangat baik karena penggambaran suatu kehidupan masyarakat dan rumah tangga ditampilkan dengan begitu hidup dan nyata sesuai dengan karakteristik dari cerita yang diangkat. Selain itu, waktu persiapan untuk pementaan drama ini cukup lama sehingga persiapan semakin matang. Setting di perkampungan kumuh sangat mencerminkan masyarakat kelas bawah. Ditambah bahasa yang dipakai bahasa jawa asli, membuat pementasan semakin hidup dan mudah dipahami, mudah mengena di hati.
b. Aspek isi:
Dilihat dari aspek isi, Teater ini sangat sesuai dengan realitas kehidupan manusia. Teater ini mampu mengkat salah satu bentuk kehidupan yang nyata terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Pemain mampu memerankan sesuai dengan perannya secara ekspresif.
Di samping itu, dalam Teater ini mengandung pesan moral yang ingin disampaikan kepada penonton bahwa kesuksesan tidak bisa ditempuh dengan jalan pintas yang instan, tetapi membutuhkan kerja keras. Selain itu, pementasan ini berusaha menyadarkan bahwa judi hanya akan membawa kemiskinan dan tidak akan membawa kekayaan.
c. Kelebihan:
Teater ini sangat menarik. Teater yang diperankan oleh beberapa orang ini bisa dikatakan sukses dan menampilkan yang terbaik. Dari segi keaktoran, hampir sebagian besar pemeran memerankandengan menerapkan teknik keaktoran, terlihat dari ekspresi, gesture, vokal, dan artikulasi yang baik dalam berdialog. Setiap pemain mampu memerankan dan menghayati sesuai dengan perannya. Waktu pementasan juga tidak terlalu lama. Selain dari itu, dalam setiap adegan selalu ada kejuta-kejutan yang tidak terduga. Sehingga penonton penasaran adegan dengan adegan berikutnya.
Pemeran utama mampu menggiring penonton kedalam suasana tegang maupun tertawa. Dengan kemunculan Karim yang merupakan tokoh orang gila membuat suasana menjadi cair dan penuh kelucuan setelah ketegangan. Dialog-dialog yang dipakai pun menggunakan dialog sehari-hari yang memjadikan nilai tambah dalam pementasan naskah drama ini. Di dalamnya terdapat percakapan ringan, sampai percekcokan yang menjadikan tensi semakin memanas. Kelebihannya, setiap tensi meningkat disusul juga dengan suasana cair penuh canda tawa yang kemudian menjadi memanas lagi, membuat penonton seolah-olah dibolak-balikkan perasaannya.
Pementasan Teater ini sangat banyak banyak manfaatnya, Loren E. Tayilor via P. Hariyanto mengemukakan manfat mempelajari drama adalah memperluas wawasan budaya, membantu pembentukkan suara, mengembangkan keserasian gerakan, mengembangkan apresiasi terhadap keindahan, mengembangkan kesedapan sikap, mengembangkan daya imajinasi, menyediakan rekreasi sehat, mengembangkan apresiasi sastra, mengembngkan ekspresi diri, mengembangkan sikap kerja sama, mengembngkan rasa percaya diri, mengembangkan rasa tanggung jawab, mengemnagkan kontol pribadi, dan memperkuat daya ingatan.
d. Kekurangan
Suatu pementasan pasti ada kelebihan dan kekurangan, begitu juga dengan Teater yang dipentaskan oleh angkatan ini. Salah satu kekurangan dalam pementasan teater ini, penonton kurang nyaman ketika pergantian setting. Menurut saya pergantian setting terlalu lama, sehingga penonton merasa jenuh. Selain itu, waktu black out panggung masih terlihat samar-samar, jadi ketika perekap mengganti properti masih terlihat oleh penonton.
Selain itu, para tokoh yang memerankan sesosok pria sebagian diperankan oleh perempuan. Hal tersebut dikarenakan jumlah pemain laki-laki tidak mencukupi untuk menjalankan pementasan tersebut sehingga terpaksa beberapa perempuan di make up layaknya seperti laki-laki.
e. Kesatuan
Dari kesatuan, Teater ini telah memiliki unsur kesatuan. Hal ini dapat dilihat dari setting yang sesuai dengan apa yang diceritakan. Kesatuan tersebut juga tidak terlepas dari bentuk drama yang berbentuk drama satu babak. Selain itu, adegan demi adegan berjalan mengalir yang menjadi satu kesatuan. Klimaks terlihat jelas di akhir pementasan dan itu direspon dengan baik oleh penonton.
f. Keseluruhan
Secara keseluruhan Teater bagus. Semua pemain bermain dengan ekspresif sesuai dengan perannya, setting juga sesuai, berani menampilakan salah satu sisi kehidupan nyata yang terjadi di masyarakat dalam hal ini masyarakat kota besar.
g. Keragaman
Dilihat dari keberagaman, Teater ini cukup beragam khususnya dalam menampilakan watak dan karakter setiap tokoh. Dengan jumlah pemain yang bisa dikatakan cukup banyak, Teater ini mampu memerankan kondisi yang beragam. Hal tersebut tergambar pada tokoh Pak Bei yang mempunyai karakter tempramen, Bu Bei yang perhatian dan suka menasihati, Mbah Dul yang sering mengurusi masalah orang lain demi kebaikan, Mas Pon yang menjadi tambang cap jikia yang membujuk dan mempengaruhi, masyarakat-samysarakat sekitar yang juga sering bermain cap jikia, para wanita yang kerjaannya mencari kutu kepala untuk menghabiskan waktu, sampai kepada tokoh dan karakter orang gila.
h. Intensitas
Dilihat dari segi intensitas, Teater ini sangat sesuai dengan keadaan di jaman modern, khususnya di perkampungan. Pesan moral yang disampaikan cukup sesuai dengan apa yang terjadi dalam kehidupan nyata.
VI. Penutup
1. Kesimpulan
Dari pementasan Teater angkatan 2007 dapat disimpulakan bahwa apa yang dipentaskan sudah bagus dan sesuai dengan realitas kehidupan di masa sekarang. Dilihat dari aspek bentuk, aspek isi, intensitas, keragaman, dan kesatuan sudah sesuai.
2. Saran
Seperti yang sudah di tulis pada bagian kekurangan, pergantian setting terlalu lama, sehingga penonton merasa jenuh. Selain itu, waktu black out panggung masih terlihat samar-samar, jadi ketika perekap mengganti properti masih terlihat oleh penonton. Sebagai saran, supaya pergantian setting lebih dipercepat sehingga penonton tidak menunggu terlalu lama.
LAMPIRAN
POTRET
DRAMA 1 BABAK
Karya Marsudi WD.
Diketik ulang dan editing oleh Hardjito
Naskah pertama kali diproduksi oleh
Sanggar Teater Kidung
Surakarta
Setting:
Cerita ini terjadi di perkampungan kumuh, bekas kuburan.
Kegiatan orang-orang di perkampungan di depan rumah Yu Sri, beberapa ibu-ibu berkumpul. Ada yang sedang mencari kutu (Jawa petan). Sayup-sayup terdengar suara seseorang belajar membaca Al-Qur’an.
PLECIT : Yu, Pak Bei teng ngomah nopo mboten nggih?
YU SRI : Sajake kesah niku. Lawange tutupan to?
PLECIT : Tutupan ning mboten digembog.
YATI : Nyat niku mboten tahu gembok kok. Nggo, niki lebon
kulo....Kirang pinten?
PLECIT : Sampeyan kurang telu. Yu Sri kurang papat. Gek mben
nunggak siji to? Suk mben gek nyaruk melih.
YU SRI : Aku ora arep njukuk. Anakane kokehan Mas.
PLECIT : Dicicil sithik-sithik, rak ora kroso to?
YU SRI : Pokoke, aku ra arep njikuk disik. Bojoku muni-muni e..
PLECIT : Yowis terserah mriku. Sing penting dilunasi disik. Rak koyo
Pak Bei niku....Yen ajeng njikuk mesthi ngetoke rembuk manis. Bareng cicilane....blong terus.
YATI : Kulo rak ra tahu blong to, Mas Plecit?
PLECIT : Lha, nek sregep koyo sampeyan, ajeg terus, suk mben entuk
hadiah gelas. Pun nggih, kulo tak mubeng riyen. Mengkeh nek enten Pak Bei nopo Bu Bei, sampeyan omongke nek kulo mriki nggih. (EXIT).
YU SRI : Nggih, yen mboten lali.
AMAT : Ora Pak Bei kuwi kok isih kober utang plecit barang.
YATI : Jenenge menungso, Mas, sarwo kurang lan kurung.
YU SRI : Lho, Bu Bei iki mau ki ning endi to?
AMAT : Yo embuh..
GINO : Gajege mau ki ngumbahi ninggone Bu Haji Basri. Yo to Ndhul?
GUNDHUL : Yo embuh. Aku ra ngerti.
GINO : Mau lho, gek awake dewe liwat sumure Bu Haji mau..
GUNDHUL : Aku ora ngerti No.
GINO : Sing mbuk ulatke mung kertu karo sonji wae..
AMAT : Podho karo kowe to?
2. Ketika mereka sedang asyik ngobrol, tiba-tiba mencul Pak Bei membawa ayam babon.
GUNDHUL : Waaah,,,sajake ajeng ternak nopo, Pak Bei?
Pak Bei : Pitik siji kok ternak. Yo mung nggo ndhog-ndhogan, rak keno
nggo lawuh karo nggo jamu.
YATI : Anu Pak Bei, wau enten sing madosi.
PAK BEI : Sopo?
YATI : Mas Plecit.
PAK BEI : Yow is ben. Kuwi rak gaweane to..?
YU SRI : Wau muni-muni lho, Pak Bei.
PAK BE : Kuwi wis gaweane.. la Mas Pon mau wis rene po dhurung?
GINO : Nek awan niki wau dhereng
PAK BEI : Lha mau esok metune opo?
GINO : Sepisan wau nem cino
PAK BEI : Lha ping pindho?
GINO : Dimpil, terus ratu, pak Bei
Yu SRI : Mas Gundhul, iki wis awan lho, malah meh sore
GUNDHUL : Sore yo neng ngopo?
YU SRI : Yen wis ngeloni kertu rak lali langganane to, bakule jamu
GUNDUL : ( TERSENYUM) Wah iyo, aku cabut sik. Dhuwe sanggeman
ngeterke Yu Tinem nang pasar
YATI : Alah......liane sanggeman sing penting rak senggolane to.....
Semua tertawa lalu masuk ke rumah masing-masing
PAK BEI : No, aku tulung tembakno babine mas Pon yo
PAK BEI BARU ASIK NYEKET MEMPERHATIKAN PAITO, MENGURUTKAN KARTU-KARTU ANGKA YANG KELUAR, DARI DALAM TERDENGAR SWARA RADIO.
DARI TEMPAT AGAK JAUH MBAH DUL MEMANGGIL-MANGGIL CUCUNYA, DARIM DAN LALU BERTANYA PADA BEBERAPA ORANG TETANGGANYA.
PAK BEI : Nem cino,babi, plompong.........ratu, babi, nem cino neh. Iki
mau sepisan nem cino, terus dimpil, ratu…. Apa sidho
mbangoling no iki mengko.. wis, wis genah nggoling. Nggoling. Lha yen sido nggoling……. Yen sido nggoling
MBAH DUL : Yen sidho nggoling kendile....yo kaliren no iki mengko
PAK BEI : Mbah kendhilee sopo sing nggoling?
MBAH DUL : Jare kendhil mu?
PAK BEI : Mbanggoling, budeg. Wong tuwo ra mudeng seket.
MBAH DUL : Opo, sikat? Nek mun g sikat, galo...nggonku pirang-pirang
PAK bei : Oo.........jan budeg tenan iki. Seket pikun, seket! Niku lho ngothak-athik ongko. Nek meng masalah ngothak-athik, ngolah ongko, pak bei ora kalah karo Pak guru kulon mriku sing saben dhino mulang ethung matematika niku.
MBAH DUL : Wis, wis. Ra sah nyangking sopo-sopo, mengko yen krungu dhadi rame. Aku iki mung arep takon, opo putuku dholan neng ngomah mu?
Pak bei : Mbah, sing ndelike putune sampean niku sopo?
MBAH dul : Lho.biasane rak dholan karo anakmu Si Mahmud to?
PAK Bei : Mahmud mboten enten teng ngomah. Pol-pole thek kliwer sobo langgar mriku
MBAH DUL : Aku iki seko langgar, biasane ki yo melu jamangah nasar karo anakmu lanang kwi, lha iki mau kok ora ngetok
PAK BEI : Pun,pun. Kulo mboten ngerti putu sampeyan.
MBAH DUL : Mau awan ki rebutan lemperkaro pleki kirikmu kuwi, terus dhadi oyak-oyakan
PAK BEI : Mbah, kirik ora opo-opo diusangkut-sangkut
MBAH DUL : Ora opo-opo pite? Kirikmu sing ngglathak. Ra tau kok pakani, terus nyrondol lempere putuyku.
PAK BEI :Mbah, sampeyan niku mboten sah ngenyek. Pleki niku pakanane seben dino iwak terik dhendheng. Mbah dhendheng.
MBAH DUL : Halah terik opo? Dhendheng opo? Dhit ko ngendhi, cobo....?
PAK BEI :Mengke yen nembus no.
MBAH DUL : Nembus druwang! Mulo to mulo ra sah open-open kirik, ra wurung ngrusuhi pangan tanggane.
PAK BEI : Kuwi jenenge ngajak gojek! Ngajak kekancan, mbah!
MBAH DUL :Kekancan kok karo kirik, yen nganti dhiembus ki najis, goblog !
PAK BEI :Halah, najis-najis opo ! Yo ra marahi sugih to !
MBAH DUL :Oo… Dasar wong ki yen ra mudheng agomo, ndhelalah.
PAK BEI :Sampeyan niku sing fanatik ! Dhasar santri anyaran, koyo resik-resiko dhewe. Sampeyan niku cethek agamane, Mbah !
MBAH DUL :Cethek yo ben, sing penting ngibadhahe.
PAK BEI :Cilikan kulo Mbah, sobo kulo leng mesjid. Ngaji ajek, omah kulo niku nemplek mesjid.
MBAH DUL :Mesjid ngendhi ? Aku ki ngerti omahmu biyen. Rak etan tanggul kono to ?
PAK BEI :Bapak kulo niku, Kyai, imam mesjid.
MBAH DUL :Kowe ki ra idhep isin. Ngaku anak Kyai kok gaweane nyonji, sholate gothang.
PAK BEI :Wis, ora sah ngajak rame ! Sampeyan niku wong tuwo, ra sah nyampuri urusane wong liyo.
MBAH DUL :Aku ra arep nyampuri urusanmu. Kowe sing marahi ngajak rame. Di elingke malah madhoni. Bakal nemu opo kowe Bei…Bei !
PAK BEI :Nemoni dhuwit. Wong tuwo ora golek dalan padhang !
MBAH DUL :Opo kowe mati arep nggotong dhuwit ? Sing penting ngibadhah. Golek suwargo. (TERUS BERJALAN MASUK KE DALAM RUMAHNYA)
PAK BEI :Suwargo kuwi biso dituku nganggo dhuwit, lho Mbah ! Dhuwit kuwi rojo, goblog !
MBAH DUL :Kuwi jenenge raja setan ! Intip neroko, goblog dhewe !
PAK BEI KEMBALI MENGOTAK-ATIK PAITO, MAS PON (TAMBANG CAP JI KIA), DATANG.
MAS PON :Wah, kurang sithik Pak Bei.
PAK BEI :Metune opo, Mas Pon ?
MAS PON :Kerok, Pak Bei.
PAK BEI :Waduh, blong meneh. Dhit tukon mbako sidho amblas no.
MAS PON :Sopo ngerti mengke nembus Pak Bei, rak keno nggo balen.
PAK BEI :Saiki sasmitane opo, Mas Pon ?
MAS PON :Niki, Pak Bei… Bubar adhus klambine putih.
PAK BEI :Bubar adhus klambine putih…? (BERPIKIR) Halah. Kuwi rak Pak Lurah arep jagong to, Mas Pon ?
MAS PON :Pak Bei ki senengane kok guyon. Mengke yen krungu Pak Lurah lo.
PAK BEI :Lha Denmase kulon kono nembak opo, Mas Pon ?
MAS PON :Nek miturut Denmase, niku wau disonji gunting.
PAK BEI :Elho…Denmase kuwi piye to. Koyo ngono kok disonji gunting. Mosok Mas Pon, neng nggunung kok nganggo klambi putih, kuwi rak Pak Kaji arep kemping to kuwi. (KEDUANYA TERTAWA). Lha yen Mas Guru nembak opo ? Kae biasane ces pleng lho.
MAS PON :Mas Guru sing pundi to Pak Bei ?
PAK BEI :Halah, kuwi lho kidule Mas Carik kuwi.
MAS PON :O…, Mas Kliwon to. Nopo niku guru to, Pak Bei ?
PAK BEI :Kliwon kuwi mbiyen, rak tahu nglumpukake cah cilik-cilik to, terus diwuruki etung-etung opo matematika, terus dho kon mbayar piro ngono lho.
MAS PON :Niku rak mbiyen to Pak Bei. Mas Kliwon niku sak niki klesetan teng ngisor ringin Gladag meriku, bakul akik. Pun Pak Bei, sak niki pasang nopo ? Kulo selak setoran.
PAK BEI :Petik wae Mas Pon, pitu seket; ratu, limang atus; babine sing rong atus seket. (TIBA-TIBA BERDATANGAN ORANG-ORANG IKUT PASANG CAP JI KIA. SETELAH SELESAI, MAS PON PERGI, DAN ORANG-ORANG PUN BUBAR). E…, mugo-mugo nyanthol, keno nggo tuku mbako.
MBAH DUL :(DARI DALAM). Angger mentrine tambang teko, koyo pasar pindah. Tumbu entuk tutup.
PAK BEI :Wis mangap meneh. Mingkemo, rak bagus Mbah ! (PAK BEI KEMBALI MENGAMBIL PAITO, NYONJI).
BU BEI PULANG, MELIHAT PAK BEI NYONJI.
BU BEI :Cap ji kia meneh, Pak ?! Dhino-dhino gaweane liyane nyonji ra eneng meneh. Pak, sing ngudang babi kalih ratu niku mbok leren.
PAK BEI :Ngadang-ngadang tetese embun, mbok menowo nembus.
BU BEI :Nembus nopo ?! Nembus kertas niku ? Kulo niku nganti isin lho Pak, saben pengajian ibu-ibu mesthi nyinggung masalah cap ji kia. Roso kulo rak nggih melu isin to Pak !
PAK BEI :Ora sah digagas. Kuwi rak wong sing ora ngerti kebutuhane wong liyo. Mengko yen nembus, rak keno nggo tuku beras, lan nggo anakmu rak yo biso tuku buku. Dadi melu mulyo kabeh.
BU BEI :Mulyo nopo ?! Mangan nopo ?! Pundhi sampeyan tahu nembus ! Tahu nukoke beras, bukune bocah-bocah. Pundhi ?! Kapan ?!
PAK BEI :Wis ! Ra sah di dhowo-dhowo !
BU BEI :Sing marai rak nggih sampeyan niku. Kulo pun rewangi sobo mbanyu, tangan nganti nglocop kabeh, buruh ngumbahi, buruh nyletiko, mung sampeyan dhewe sing ngentek-ngenteke neng cap ji kia, togel, gonggong, thothit, peki…
PAK BEI :Wis ! Iso meneng po ora !
BU BEI : Yen aku muni mesthi dhadi rame. Yen ra arep muni kok yo kebangetan. Ra idhep isin ! O…alah Pak, Pak ! Koyo ngono kok biyen ngakune santri dheles. Jebul yo mung dhudho gombal !
PAK BEI : Kem. Kowe ki iso meneng po ra ! Wong wedhok nggone mburi, ra sah kakean crewet ! Ra sah ngurusi wong lanang. Kowe kuwi mesthine wis bejo tak angkat dhadhi bojon Bei. Pomo ra, kowe arep dhadhi opo ! Pol-pole yo mung babune Bu Kaji !
BU BEI : Babu yo ben, ning rak halal. Kringete dhewe. Meres tenogone dhewe. Angger dikandani mesthi dhadhi rame. Sampeyan niku ra idhep isin. Sing jarene putrane kyai, oalah Pak. Pak… anak sampeyan men sholat lan ngajine apik, ajeg. Sobone mesjid. Ning kok bapake gaweane malah nyonji, niku nopo ra ngisin-ngisini !
PAK BEI : O… Dhadhi cethane sing marahi bocah ora omahan ki kowe to ! Bar klepat ning langgar, bar madang ning langgar, wancine sinau ning langgar, terus omahe ki dianggep opo !
BU BEI : Mulo nggih Pak, sampeyan niku sok nggagas anak, ampun nomer mawon. Si Mahmud niku saben bubar maghrib ajar ngaji, ajar agomo sing bener, karo Si Darim putune Mbah Dul barang niku. Lha mengke yen bubar ngisak, terus diwuruki sinau pelajaran sekolah.
PAK BEI : Sing ngajari kuwi sopo, kok turah-turah men wektu
BU BEI : Sing muruki sinau niku Mas Dhahlan, sing mucal teng SD Muhammadiyah niku, sing mondhok nggene Bu Kaji niku.
PAK BEI : Opo sinau neng ngomah ki ra iso, ndhadhak tkan kono-kono!
BU BEI : Pak, sampeyan niku mbok rumongso. Omahe niku sempit, lampune teplok melik-melik. Yen teng mriko, rak padhang. Lampune neon. Biyen ngganthol listrik nggone Pak SAryono sampeyan pedhot!
PAK BEI : ngganthol listrik kuwi nglanggar hukum.
BU BEI : Halah… Niku rak alesane sampeyan mawon. Buktine, pundhi enten sing mlebu teng paukuman? Rak mboten enten to.
PAK BEI : Wis, wis. Ra sah kakean cangkem. Mengko yen nimbus, pasang dhewe. Sepiro to ragate?
BU BEI : O…alah Pak. Pak. Mbok nyebut, sing arep nggo pasang ki kertas opo? Senenge njagake ndhoge si bhlorok. Iyo yen netes, lha yen buthuk…! Ra sah ngoyo woro Pak, Pak !
PAK BEI : Sing marahi raqk yo kowe to ! Wong wedhok isine mung kakehan cangkem, senenge mung maidho !
BU BEI : Sing maidho nggih sampeyan niku ! (SAMBIL MASUK KE DALAM RUMAHNYA) Wong kok ra idhep isin !
PAK BEI : Wis, iso meneng po ra !
DARI DALAM RUMAH, MBAH DUL IKUT-IKUTAN BICARA
MBAH DUL : Brontojudha meneh… Saben byar kok brontojudha ra leren-leren. Opo pancen danyange kene ki seneng lakon brontojudha yo… janjane, sepiro to abote wong sholat. Sepiro to rekasane wong sholat. Ok yo angel…….
PAK BEI : (MENYAHUT, DINYANYIKAN) Sholat oleh, ra sholat oleh……….
MBAH DUL : Malah ngece ! titenono, agomo kuwi mukti. Sholat kuwi cagake agomo, goblog !
PAK BEI : (MENGULANG BERNYANYI LAGI) Sholat oleh, ra sholat oleh……….
MBAH DUL: O....ndhelalah. wong ki yen ra mudheng agomo ! Dikandhani malah ngece. Wong urip nang endi parane, yen ra mati. Wong mati kuwi sanguine ngibadhah, sholat, lan ngamal .
PAK BEI : (MENGULANG BERNYANYI LAGI) Sholat oleh, ra sholat oleh……….
MBAH DUL : Wis, wis. Wong yen ra mudheng agomo, isine mung ngeyel. Koyongono kok ngaku-aku santri, anak kyayi! Ojo ngino kaaro agomo, kowe bakal dhadi intipe neroko!
PAK BEI ; Suwargo, neroko kuwi urusane sok mben, Mbah. Sing penting saiki niki nggih dhuwit. Mung dhuwit, Mbah.
MBAH DUL : Dhuwit lan bondho, kuwi mung titipan, ora langgeng. Opo kowe ning kubur arep sangu dhuwit lan bondho !
PAK BEI : Pokoke sing penting saiki, sing kuwoso saiki, kuwi mung dhuwit, dhuwit. Ndhuwe dhuwit akeh, arep ngopo-ngopo ki sarwo gampang. Bedho yen ra dhuwe dhuwit, sak enggon-enggon mung dhi anggep remeh. Wong ndhuwe dhuwit kuwi mulyo. Kuwoso. Sak uni-unine payu. Abang iso dhadi ireng. Ireng iso dhadi pitih. Kuwi wong sing dhuwe dhuwit. Bedho yen ora dhuwe dhuwit. Pol-pole mung dhadi pesakitan. Dhadi gedhibal.
MBAH DUL : O…dhelalah wong ki yen ra dhuwe iman. Dikandani malak khutbah. Titenono, kowe arep nemoni opo ! Ciloko saklawase kowe ! (SAMBIL BERANJAK PERGI)
PAK BEI : Ciloko yo ben, iki urusanku dhewe. Kowe ra sah melu-melu. Urusen awakmu dhewe. Wong tuwo rap antes diajeni. Ora nggolek dhalan padhang, malah nggawe perkoro. Kok koyo wis tau ngerti suwargo, neroko. Titik wae yo dhurung, kok kakehan cangkem.
BU BEI : (DARI DALAM RUMAH) Empun to Pak, empun. Mbok ngalah. Senenge kok geger koyo dhonyo arep kiyamat. Dirungoke tonggo teparo ray o ngisin-ngisini.
PAK BEI : Wis, arep melu ngroyok pisan po piye !
PAK BEI JENGKEL HATINYA, SELANG KEMUDIAN, IA MENYALAKAN ROKOK, KEMUDIAN MENGEMBANGLAH SENYUMNYA.
PAK BEI : Urip kok dho digawe ngrekoso, dhemen cekak umure
TIBA-TIBA KARMIN. SI ORANG GILA MUNCUL. IA BAK EORANG PRAJURIT MAJU KE MEDAN PERANG. JALANNYA BERGAYA. MATANYA MENYELIDIKDAN SELANG KEMUDIAN IA MENYANYIKAN LAGU MAJU TAK GENTAR TAPI TAK SELESAI. TIBA-TIBA IA BERTIARAP MEMBIDIKKAN SENPANNYA. SESAAT KEMUDIAN BERDIRI TEGAP DAN MENGHORMAT LALU MENANGIS.
KARMIN : Saudara-saudaraku, kenapa kau tinggalkan Karmoin sendirian. Kau kejam ! Kau tega ! Aku kan pahlawanmu. (LALU MENYANYIKAN LAGU GUGUR BUNGA DAN TIBA-TIBA….) Awas…! Kita telah dikepung musuh ! Ciaaat… Hep ! Tiaraaaaap !! Doe..dor..dor..dor dor !! Retetetetet…….. mDor, dor ! Mampus kau anjing ! Dor, dor ! (TERTAWA) Ha..Ha…Ha.. Kita menang, kita menang. Merdeka ! Merdeka ! (TERUS TERTAWA GIRANG)
PAK BEI : (MEMPERHATIKAN KARMIN) Koyo kuwi, netral. Ra rumongso dhuwe dosa.
KARMIN MENUJU PELATARAN RUMAH PAK BEI, LANTAS IA MENODONGKAN SENAPAN KE ARAH PAK BEI
KARMIN : Ciaaat ! Ciaaat! (BERGAYA BAK NINJA) Ayo serang aku ! Ciaaat ! Hep ! Modyar kan ! (TERTAWA LAGI) Ha Ha Ha
PAK BEI : (MENGHINDAR) Min, Min. ojo sembrono !
KARMIN : Kamu Belanda, belum kenal siapa aku he ! Aku pendekSar tongkat sakti! Ciaaat !
PAK BEI : Min, Min. ojo sembrono !
KARMIN : Kamu mau lari ke mana Belanda? HAyo, sebut namaku pendekar tongkat sakti ! Bukan Karmin !
PAK BEI : Hiyo, iyo… Pendekar tongkat sakti.
KARMIN : (TERTAWA LAGI) Ha Ha Ha …. Kamu opsir Belanda kan ! Ciaaat ! Ciaaat!
PAK BE :Min, Min. aku bukan opsir Belanda. Genah, aku ki Pak Bei. Aku mungsuhe Londo, padha karo kowe. Sama-sama pejuang.
KARMIN : Betul kamu di pihak saya ?
PAK BEI : Halah, nggenah ngono kok. Mosok kowe pangkling karo komandanmu dhewe.
KARMIN : Jadi kamu sama dengan aku ? Dan kamu komandan saya ? Kalau begitu… Hormat komandan !
PAK BEI MENYAMBUT HORMAT, KEMUDIAN KARMIN MENYANYI LAGU INDONESIA RAYA SAMBIL MENANGIS
PAK BEI : o. Dhasar wong edan !
KARMIN : (KEMBALI MENYERANG PAK BEI) CIAAAT ! CIAAAT!
PAK BEI : (KETAKUTAN) Min, Min. ojo Min. kita kan teman.
KARMIN : (MENODONGKN SENJATA) Teman apa lawan !
PAK BEI : Halah genah teman ngono kok. Kita sama-sama pejuang, iya kan ?
KARMIN : (TERTAWA) Ha Ha Ha …. Aku punya teman.
TERUS PERGI SAMBIL MENYANYIKAN LAGU SORAK-SORAK BERGEMBIRA
PAK BEI : O . . . Dasar wong edan !
DI KEJAUHAN, KARMIN TAK HENTI BERTERIAK-TERIAK.
KARMIN : Ciaaaat ! Ciaaaat ! Hep ! Dor dor dor dorrrr . . . .! Tretetet, teretetet, dor, teretetet, dor, teretetet, dorrrr, . . .! Horee . . . .!! Kita menang. Kita menang !!
SUARA KARMIN SEMAKIN JAUH DAN SEMAKIN MENGHILANG
MAS PON MUNCUL
MAS PON : Wah metune plompong ki pak Bei !!!
PAK BEI : (KECEWA) Waduh, blong meneh ? Kok iso plompong ki piye to ! Mongko kuwi dhuwit kanggo gawe kandang pitik sesuk.
TIBA-TIBA KARMIN MUNCUL LAGI. IA BERLARI-LARI SEPERTI KETAKUTAN. BEGITU DEKAT RUMAHNYA PAK BEI. IA MENYELINAP DI BALIK RUMAH.
PAK BEI
(MERESPON) Karim kok keweden, ndelik-ndelik. Halah, kuwi mesti ndhimpil, Mas Pon.
MAS PON
(MERESPON) Wedi, ndhepipil, ah . . . dhimpil . . . Wah cocok Pak Bei, nggenah dhimpil niku. Golek balen Pak Bei, dicoba wae. Yen metu eman-eman lho Pak Bei.
PAK BEI
Wis ludes Mas Pon. Limang rupiah wae wis ora duwe, blas.
MAS PON
Nggawe kandange yen wis nimbus wae to Pak. Wis to mengko gelo lo. Niki genah ndhimpil, mesti niku.
PAK BEI
Lha terus pitikku dikekne ngendi ?
MAS PON
E. . . piye to sampeyan niku. Pitike tak gentine rongewu limangatus. Mengko yen nembus sampeyan tuku meneh.
PAK BEI
Pitikku babon lho, Mas Pon.
MAS PON
Lha yo. Rak podho rego pasar to ? Sopo ngerti nasib mujur entuk balen. Ra yo ngono to Pak Bei.
PAK BEI
(BERPIKIR) Yowis, ngono yo keno. Entenono kene disik.
PAK BEI MASUK KE DALAM RUMAHNYA. TAK BERAPA LAMA DI DALAM RUMAH TERJADI KERIBUTAN ANTARA PAK BEI DAN BU BEI.
BU BEI
Aku ra entuk yen pitike arep kok dol.
PAK BEI
Kene nggone sumpek, ra neng kandhange. Opo arep dikandhang wung-wungan ! Njur wung-wungane sopo !
BU BEI
Pokoke ojo di dil. Tak openane.
PAK BEI
Go rene to, Kem !
BU BEI
Ojo !
TERDENGAR PERALATAN DAPUR TERLEMPAR
PAK BEI
Kem ! Di gowo rene rak !
BU BEI
Ojo !
PAK BEI
Kuwi pitike sopo ! Kuwi pitik ku yo !
BU BEI
Pitik mu opo ! Iki soko nggone Warni to ! Biyen wis tak bayar telungewu, terus tak titipke ning kono disik.
SUARA PERALATAN DAPUR TERLEMPAR LAGI.
PAK BEI
Wis, pokoke go rene rak !
BU BEI
Ora ! Pol-pole mung arep kok nggo pasang cap ji kia ! Tambang kurang ajar ! Tukang glembuk ! Mas Pon endhi, tak nyohane !
PAK BEI
Ojo Kem ! Ojo . . . ! Iki urusanku dhewe !
MENDENGAR ITU, MAS PON LARI TERBIRIT-BIRIT.
BU BEI
Aku ra peduli ! Wonge neng endhi ! Njaluk di gawe wiring po piye ! (SAMBIL MENGEMPIT AYAM BABON, DI DEPAN RUMAHNYA) Oalah Pak, Pak, Utangmu neng endhi-endhi. Bonmu pirang-pirang, ora wurung aku sing kedhungsangan. Mas Pon ndelik ning endhi man ? Reneo tak kumbahe cangkemu !
9. SEORANG KREDIT BARANG (MINDRING) MUNCUL. IA MENUJU DEPAN RUMAH YU SRI YANG TAK JAUH DARI RUMAH PAK BEI.
MINDRING
Mindring . . .! Mindring . . .!
MENGETAHUI ITU, PAK BEI SUDAH GUGUP MENUTUP PINTU RUMAHNYA. YU SRI DAN ORANG-ORANG KELUAR DARI DALAM RUMAHNYA
MINDRING
Na . . . iki lho Yu Sri pesenanmu. Wa . . .tak golekke sing paling apik. Wis to percoyoo. Ora bakal luntur, tur murah mung telungewu limangatus. Nek ping sepuluh yo seminggu, mung limangatus. Rak ringan to ?
YU SRI
Nek liyane, opo ?
MINDRING
Ana, daster, nduwuran. Corake apik-apik. Wis to, murah iki.
YU SRI
Urunge bantal ra iso kurang po ?
MINDRING
Yo wis, karo kowe dikurangi rongatus seket, nggo pelarisan.
YU SRI
Lha ngono. Yo wis aku njikuk urunge dhisik.
MINDRING
Dastere ora sisan, Yu ? apik-apik lho. Wis to, tak kei rego murah.
YU SRI
Kapan-kapan wae, aku tak taren bojoku dhisik.
MINDRING
Yu, Pak Bei neng ngomah opo ora yo ?
YU SRI
Lha embuh yo. Aku ra weruh ki.
MINDRING
Titip dhisik yo, Yu. Aku tak ning nggone Pak Bei.
MINDRING MENUJU RUMAH PAK BEI.
MINDRING
(MENGETUK PINTU) Pak Bei, kula nuwun Pak . . . Pak Bei. Mindring Pak, Mindring.
PAK BEI
O. . . Mindring. Wah pangapuntene wae, aku ra pati krungu. Awakku rodho greges-greges, arep masuk angin. Resep obat masuk angin sing ces pleng ki opo yo ?
MINDRING
Kulo mboten ngerti resep. Bola-bali kulo meriki sampeyan ra tau neng ngomah. Bu Bei lungo. Mangke yen ketemu, alasane dhurung oleh dhuwit. Werno-werno alasane. Sing masuk angin, sing ini itu. Terus nganti suk kapan cobo . . .!
PAK BEI
Mbok anu, suk minggu-minggu ngarep mawon. Pokoke kabeh tak lunasi pisan.
MINDRING
Sampeyan niku, yen dikei ati malah ngrogoh rempelo. Yen arep njukuk wae ngrayu-rayu. Aji rembuk manis kok digunakake. Cobo. . . Piro sing sampeyan jupuk ? Kupluk, klambi, sarung, srandal jepit. Kok sing wis lunas mung srandale thok. Opo perlu aku rene nggowo polisi po piye !
PAK BEI
Wah. . . nggih mpun to. Ampun seru-seru, mengke ndak krungu bojo kulo. Kulo rak mpun ngomong, ampun nganti ngertos bojo kulo, nggih to. . .?
MINDRING
Kulo pancen ajeng ngomong kalih Bu Bei, ben ngerti pisan !
PAK BEI
Waduh. . . Ampun. Ampun. . .
TIBA-TIBA BU BEI MUNCUL
BU BEI
O. . . Dhadhi ngono kuwi pokal gawemu, Pak ! Ngapusi rono, ngapusi rene. . . Omonganmu plinthat-plinthut.
PAK BEI
Uwis to, Kem. Kowe kuwi ra sah melu-melu. Wong wedhog ki nggone mburi, kono !
BU BEI
Pak, Sampeyan niku sing ora nduwe isin. Wong lanang senenge ngapusi wong wedhog. Yen ditakoni jare tuku ning pasar. Terus dhuwit leh ku ngekei kuwi terus nengendi playune, Pak ! Nggo pasang cap ji kia, togel, yo po pie !
PAK BEI
Uwis to, Kem. Kowe ra sah rame !
MINDRING
O. . . Dhadhi sampeyan utang kredit kuwi ngapusi Bu Bei to ! Kuwi jenenge wong lanang ora nduwe tanggung jawab. Ndhuwene kok mung konthol ! Wis, niku urusane sampeyan dhewe. Sak niki sing penting urusan utang sampeyan. Pilih dilunasi opo tak undhange polisi !
PAK BEI
Enggih, enggih. . . Kulo lunasi ning seminggu-seminggu engkas. Sak niki nyuwun pangapunten, kulo dhereng gadah. Sa estu.
MINDRING
Janji dhewe lho. Angger nganti ngapusi, awas. Tak undhange polisi !
MINDRING MENINGGALKAN PAK BEI DAN BU BEI. LANTAS MAMPIR MENGAMBIL BARANG DAGANGANNYA DI RUMAH YU SRI, DAN PERGI. PAK BEI DUDUK. RAUTNYA PUCAT DI TELAN HARI SENJA.
BU BEI
Wong lanang opo kuwi ! Ra tau nggagas omah. Ra tau nggagas anak. Cobo. . . anak wis yah mene dhurung mulih barang, yo mung meneng wae. Wong lanang kok mung akon-akon. Wong lanang opo kuwi !
LALU BU BEI PERGI MENCARI ARI MAHMUD ANAKNYA.
PAK BEI DUDUK SENDIRI. MURUNG. SELANG KEMUDIAN, IA MASUK KE DALAM RUMAHNYA HANYA SEBENTAR.
DAN SUDAH ITU KE LUAR LAGI MEMBAWA TAMBANG, LALU PERGI.
Solo, 24 Februari 1999
Potret
Marsudi WD.
Semarang, 25 Juli 2001
Di ketik ulang dan pengeditor
Hardjito
Demikianlah struktur atau format resensi pementasan drama. Semoga dapat memberikan manfaat dan menambah wawasan Anda. Silakan baca juga artikel mengenai format resensi cerpen. Akses-Ilmu
Makasih yah... ini sangat bermanfaat banget buat tugas aku....
ReplyDeletesalam sukses !!
x.6 11
ReplyDeleteini naskah drama, pak??
Iya.. bentuk resensi drama seperti itu. Nanti akan diajarkan di kelas XI
ReplyDelete