Variasi Makna Bahasa Indonesia
Unknown
Friday, January 11, 2013
0
Variasi Makna Bahasa Indonesia. Bahasa adalah sebuah sistem lambang bunyi arbitrer yang digunakan oleh masyarakat untuk tujuan komunikasi. Sifat arbitrer dalam bahasa ini menurut Chaer (1989:32), dengan menggunakan istilah De Saussure, diartikan bahwa tidak ada hubungan spesifik antara deretan fonem pembentuk kata dengan maknanya. Dengan demikian, tidak ada hubungan langsung antara yang diartikan (signifie) dengan yang mengartikan (signifiant). Demikian juga menurut Lyon (1977:96), dengan meminjam istilah segitiga semiotik, tidak ada hubungan langsung antara lambang (symbol) dengan acuan (referent).
Tidak ada alasan yang kuat mengapa konsep tertentu harus dihubungkan dengan dengan lambang yang berwujud deretan bunyi atau deretan huruf. Umpamanya tanda linguistik lisan yang dieja ”laptop,” tanda ini terdiri dari unsur makna atau diartikan ’laptop’ dan unsur bunyi yang mengartikan dalam wujud runtutan fonem [l, a, p, p, t, o, p], atau tanda linguistik tulisan ”laptop” yang terdiri dari unsur makna atau diartikan ’laptop’ dan unsur huruf yang mengartikan dalam wujud runtutan huruf l, a, p, t, o, p, tanda ini ini mengacu kepada suatu referen yang berada di luar bahasa, yaitu laptop sebagai salah satu alat elektronik berjenis komputer, yang biasanya digunakan untuk mengetik. Dengan demikian, kata laptop adalah hal yang menandai (tanda linguistik) dan sebuah laptop sebagai alat elektronik (konsep) adalah hal yang ditandai.
Kearbriteran makna membuat bahasa manusia menjadi kreatif. Manusia tidak hanya mampu menciptakan kata-kata baru, mereka juga mampu memainkan sebuah kata, atau frasa, atau kalimat untuk merujuk pada sebuah objek yang berbeda. Seperti contoh kata ”virus,” yang berarti benda organik yang ukurannya sangat kecil dan berbahaya bagi tubuh karena dapat menyebabkan manusia sakit, dengan kekreatifitasan manusia yang ditunjang oleh kearbriteraran bahasa mereka, dapat digunakan tidak hanya konteks sesuatu yang membahayakan manusia tetapi juga dalam konteks sesuatu yang membahayakan program komputer.
Kemampuan memainkan bahasa ini makin terlihat jelas dewasa ini. Memasuki dunia globalisasi yang di dalamnya terdapat banyak dinamika sosial, menyebabkan manusia tanpa disengaja telah membangkitkan era komunikasi modern. Arus informasi yang demikian kuatnya berhembus sebagai akibat dari diciptakannya piranti-piranti pendukung komunikasi seperti surat kabar, radio, telpon sesuler, televisi dan inernet, menyebabkan banyak pihak, utamanya kalangan berpendidikan sangat mengandalkan bahasa sebagai mediator komunikasi antar manusia. Dengan demikian, kemampuan komunikatif yang baik serta ketrampilan
dalam memanfaatkan bahasa, menjadi sangat penting artinya.
Media massa sebagai pelopor arus komunikasi ini berperan demikian dominan dalam memimpin dan menginspirasi manusia untuk memanfaatkan bahasa. Banyak sekali istilah-istilah, ungkapan-ungkapan, idiom-idiom, peribahasa baru digagas dan dimunculkan oleh media massa. Masyarakat, sebagai konsumen dari media tentunya tanpa pikir panjang akan menggunakan ”hal baru ini” karena mereka berpikir, jika tidak melakukannya, mereka akan dicap sebagai orang yang ketinggalan informasi. Dengan demikian, di era modern ini, media massa seakan berperan sebagai ”pabrik” bahasa, dan ironisnya, entah ”produk pabrik” ini
berkualitas ataukah tidak, masyarakat tetap saja memakainya.
Jika dalam ilmu kesusastraan dan stilistika terdapat istilah Licentia Poetica yaitu kebebasan seorang sastrawan untuk menyimpang dari kenyataan baik dari bentuk atau aturan konvensional bahasa untuk menghasilkan efek yang dikehendakinya (Shaw, 1972), maka dalam dunia media informasi, media massa atau tepatnya wartawan, memiliki apa yang disebut Licentia Coinage, yaitu kebebasan seorang wartawan untuk menciptakan, atau mengalihkan makna dasar kata sesuai selera untuk menghasilkan efek tertentu. Dengan bekal inilah media massa membentuk dan ”menjajah” masyarakat melalui bahasa.
Pada satu sisi, keberadaan media massa sangat penting bagi masyarakat, namun pada sisi lain, dengan adanya Licentia Coinage ini, distorsi perkembangan bahasa, utamanya bahasa Indonesia mulai muncul. Penggunaan kata-kata sarkasme atau sadis di media massa, berkurangnya penggunaan ungkapan bernuansa kebajikan, memudarnya penggunaan ungkapan bernuansa budaya dan lingkungan (Wahab, 2001), banyak dijumpai. Ini semua merupakan dampak dari Licentia Coinage yang dimiliki wartawan. Terdapat juga banyak istilah-istilah, idiom idiom yang tidak dipahami masyarakat. Akibatnya masyarakat cenderung memaknai ungkapan-ungkapan baru tersebut secara literal sehingga akibatnya teks-teks yang mengandung metafora tersebut dimaknai menyimpang. Problematika ini tentunya merupakan masalah rumit sekaligus menarik untuk diungkap melalui perspektif linguistik.
Sebagai sebuah produk dari peneltian linguistik, maka artikel ini mengulas perubahan makna kata atau frase yang memiliki makna menyimpang sebagai produk dari Licentia Coinage wartawan yang muncul dalam media massa.
C. Fakus dan Objek Kajian
Mengingat bahwa sebuah penelitian haruslah fokus dan mendalam, maka penelitian yang telah peneliti laksanakan dibatasi oleh background peneliti, durasi penelitian, serta kemampuan meneliti dalam menyediakan, menganalisis serta menyajikan data. Background peneliti adalah linguistik dan durasi penelitian ini adalah satu minggu. Dengan adanya bankground dan keterbatasan ini, maka penelitian ini bertolak dari sudut pandang salah satu bidang ilmu Linguistik yaitu Semantik, dengan berfokus pada variasi makna yang ada dalam surat kabar. Dengan durasi waktu yang terbatas, maka kajian ditentukan dengan mengambil Surat Kabar sebagai objeknya. Surat Kabar yang diteliti adalah harian Suara Merdeka, Jawa Pos, Republika yang terbit pada hari Kamis, 22 April 2010.
D. Jenis dan Metode Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif dengan cara memerikan gejala kebahasaan secara cermat dan teliti berdasarkan fakta-fakta yang sebenarnya dengan tidak melibatkan angka. Adapun langkah-langkah penelitian dimulai dari: (a) penyediaan data yang berbentuk penggalan dari artikel yang terdapat dalam surat kabar Suara Merdeka, Jawa Pos, dan Republika yang terbit pada hari kams, 22 April 2010, (b) klasifikasi data dengan menggunakan teknik catat dan teknik simak (c) analisis data dengan menggunakan konsep-konsep semantik seperti metafora, metonomi, generalisasi, spesialisasi, litotes, sarkasme dan ironi (d) penyajian hasil penelitian dalam bentuk paper.
E. Hasil dan Pembahasan
Dari hasil pengklasifikasian data dengan menggunakan teknik simak dan catat, ditemukan beberapa petikan kalimat di surat kabar yang mengandung variasi semantik (variasi makna). Adapun klasifikasi variasi makna dalam surat kabar beserta analisisnya adalah sebagai berikut:
E.1. Metafora
Metafora disebutkan oleh Pradopo (1994:66) merupakan bentuk perbandingan dua hal secara langsung, tetapi dalam bentuk yang singkat. Ullman dalam Sumarsono (2007) mendefinisikan metafora sebagai perbandingan rinkas (luluh, lebur, menyatu) yang menggunakan intuisi dan tanda konkret
Gaya metafora itu melihat sesuatu dengan perantaraan benda yang lain. Metafora sebagai pembanding langsung tidak menggunakan kata-kata seperti dan lain-lain, sehingga pokok pertama langsung dihubungkan dengan pokok kedua. Salah satu unsur yang dibandingkan, yaitu citra, memiliki sejumlah komponen makna dan biasanya hanya satu dari komponen makna tersebut yang relevan dan juga dimiliki oleh unsur kedua, yaitu topik.
Ulmann (dalam Sumarsono, 2007) dan Parera (2004:119) membedakan metafora ke dalam empat jenis, yakni (1) metafora bercitra antropomorfik, (2) metafora bercitra hewan, (3) metafora bercitra abstrak ke konkret, (4) metafora bercitra sinestesia atau pertukaran tanggapan/persepsi indra.
(a) Metafora Bercitra Antropomorfik
Metafora bercitra antropomorfik merupakan satu gejala semesta. Para pemakai bahasa ingin membandingkan kemiripan pengalaman dengan apa yang terdapat pada dirinya atau tubuh mereka sendiri. Metafora antropomorfik dalam banyak bahasa dapat dicontohkan dengan mulut botol, jantung kota, bahu jalan, dan lain-lain.
Adapun kata atau frase yang mengandung variasi makna metafora antropomorfik yang ada di surat kabar adalah:
Tidak ada alasan yang kuat mengapa konsep tertentu harus dihubungkan dengan dengan lambang yang berwujud deretan bunyi atau deretan huruf. Umpamanya tanda linguistik lisan yang dieja ”laptop,” tanda ini terdiri dari unsur makna atau diartikan ’laptop’ dan unsur bunyi yang mengartikan dalam wujud runtutan fonem [l, a, p, p, t, o, p], atau tanda linguistik tulisan ”laptop” yang terdiri dari unsur makna atau diartikan ’laptop’ dan unsur huruf yang mengartikan dalam wujud runtutan huruf l, a, p, t, o, p, tanda ini ini mengacu kepada suatu referen yang berada di luar bahasa, yaitu laptop sebagai salah satu alat elektronik berjenis komputer, yang biasanya digunakan untuk mengetik. Dengan demikian, kata laptop adalah hal yang menandai (tanda linguistik) dan sebuah laptop sebagai alat elektronik (konsep) adalah hal yang ditandai.
Kearbriteran makna membuat bahasa manusia menjadi kreatif. Manusia tidak hanya mampu menciptakan kata-kata baru, mereka juga mampu memainkan sebuah kata, atau frasa, atau kalimat untuk merujuk pada sebuah objek yang berbeda. Seperti contoh kata ”virus,” yang berarti benda organik yang ukurannya sangat kecil dan berbahaya bagi tubuh karena dapat menyebabkan manusia sakit, dengan kekreatifitasan manusia yang ditunjang oleh kearbriteraran bahasa mereka, dapat digunakan tidak hanya konteks sesuatu yang membahayakan manusia tetapi juga dalam konteks sesuatu yang membahayakan program komputer.
Kemampuan memainkan bahasa ini makin terlihat jelas dewasa ini. Memasuki dunia globalisasi yang di dalamnya terdapat banyak dinamika sosial, menyebabkan manusia tanpa disengaja telah membangkitkan era komunikasi modern. Arus informasi yang demikian kuatnya berhembus sebagai akibat dari diciptakannya piranti-piranti pendukung komunikasi seperti surat kabar, radio, telpon sesuler, televisi dan inernet, menyebabkan banyak pihak, utamanya kalangan berpendidikan sangat mengandalkan bahasa sebagai mediator komunikasi antar manusia. Dengan demikian, kemampuan komunikatif yang baik serta ketrampilan
dalam memanfaatkan bahasa, menjadi sangat penting artinya.
Media massa sebagai pelopor arus komunikasi ini berperan demikian dominan dalam memimpin dan menginspirasi manusia untuk memanfaatkan bahasa. Banyak sekali istilah-istilah, ungkapan-ungkapan, idiom-idiom, peribahasa baru digagas dan dimunculkan oleh media massa. Masyarakat, sebagai konsumen dari media tentunya tanpa pikir panjang akan menggunakan ”hal baru ini” karena mereka berpikir, jika tidak melakukannya, mereka akan dicap sebagai orang yang ketinggalan informasi. Dengan demikian, di era modern ini, media massa seakan berperan sebagai ”pabrik” bahasa, dan ironisnya, entah ”produk pabrik” ini
berkualitas ataukah tidak, masyarakat tetap saja memakainya.
Jika dalam ilmu kesusastraan dan stilistika terdapat istilah Licentia Poetica yaitu kebebasan seorang sastrawan untuk menyimpang dari kenyataan baik dari bentuk atau aturan konvensional bahasa untuk menghasilkan efek yang dikehendakinya (Shaw, 1972), maka dalam dunia media informasi, media massa atau tepatnya wartawan, memiliki apa yang disebut Licentia Coinage, yaitu kebebasan seorang wartawan untuk menciptakan, atau mengalihkan makna dasar kata sesuai selera untuk menghasilkan efek tertentu. Dengan bekal inilah media massa membentuk dan ”menjajah” masyarakat melalui bahasa.
Pada satu sisi, keberadaan media massa sangat penting bagi masyarakat, namun pada sisi lain, dengan adanya Licentia Coinage ini, distorsi perkembangan bahasa, utamanya bahasa Indonesia mulai muncul. Penggunaan kata-kata sarkasme atau sadis di media massa, berkurangnya penggunaan ungkapan bernuansa kebajikan, memudarnya penggunaan ungkapan bernuansa budaya dan lingkungan (Wahab, 2001), banyak dijumpai. Ini semua merupakan dampak dari Licentia Coinage yang dimiliki wartawan. Terdapat juga banyak istilah-istilah, idiom idiom yang tidak dipahami masyarakat. Akibatnya masyarakat cenderung memaknai ungkapan-ungkapan baru tersebut secara literal sehingga akibatnya teks-teks yang mengandung metafora tersebut dimaknai menyimpang. Problematika ini tentunya merupakan masalah rumit sekaligus menarik untuk diungkap melalui perspektif linguistik.
Sebagai sebuah produk dari peneltian linguistik, maka artikel ini mengulas perubahan makna kata atau frase yang memiliki makna menyimpang sebagai produk dari Licentia Coinage wartawan yang muncul dalam media massa.
C. Fakus dan Objek Kajian
Mengingat bahwa sebuah penelitian haruslah fokus dan mendalam, maka penelitian yang telah peneliti laksanakan dibatasi oleh background peneliti, durasi penelitian, serta kemampuan meneliti dalam menyediakan, menganalisis serta menyajikan data. Background peneliti adalah linguistik dan durasi penelitian ini adalah satu minggu. Dengan adanya bankground dan keterbatasan ini, maka penelitian ini bertolak dari sudut pandang salah satu bidang ilmu Linguistik yaitu Semantik, dengan berfokus pada variasi makna yang ada dalam surat kabar. Dengan durasi waktu yang terbatas, maka kajian ditentukan dengan mengambil Surat Kabar sebagai objeknya. Surat Kabar yang diteliti adalah harian Suara Merdeka, Jawa Pos, Republika yang terbit pada hari Kamis, 22 April 2010.
D. Jenis dan Metode Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif dengan cara memerikan gejala kebahasaan secara cermat dan teliti berdasarkan fakta-fakta yang sebenarnya dengan tidak melibatkan angka. Adapun langkah-langkah penelitian dimulai dari: (a) penyediaan data yang berbentuk penggalan dari artikel yang terdapat dalam surat kabar Suara Merdeka, Jawa Pos, dan Republika yang terbit pada hari kams, 22 April 2010, (b) klasifikasi data dengan menggunakan teknik catat dan teknik simak (c) analisis data dengan menggunakan konsep-konsep semantik seperti metafora, metonomi, generalisasi, spesialisasi, litotes, sarkasme dan ironi (d) penyajian hasil penelitian dalam bentuk paper.
E. Hasil dan Pembahasan
Dari hasil pengklasifikasian data dengan menggunakan teknik simak dan catat, ditemukan beberapa petikan kalimat di surat kabar yang mengandung variasi semantik (variasi makna). Adapun klasifikasi variasi makna dalam surat kabar beserta analisisnya adalah sebagai berikut:
E.1. Metafora
Metafora disebutkan oleh Pradopo (1994:66) merupakan bentuk perbandingan dua hal secara langsung, tetapi dalam bentuk yang singkat. Ullman dalam Sumarsono (2007) mendefinisikan metafora sebagai perbandingan rinkas (luluh, lebur, menyatu) yang menggunakan intuisi dan tanda konkret
Gaya metafora itu melihat sesuatu dengan perantaraan benda yang lain. Metafora sebagai pembanding langsung tidak menggunakan kata-kata seperti dan lain-lain, sehingga pokok pertama langsung dihubungkan dengan pokok kedua. Salah satu unsur yang dibandingkan, yaitu citra, memiliki sejumlah komponen makna dan biasanya hanya satu dari komponen makna tersebut yang relevan dan juga dimiliki oleh unsur kedua, yaitu topik.
Ulmann (dalam Sumarsono, 2007) dan Parera (2004:119) membedakan metafora ke dalam empat jenis, yakni (1) metafora bercitra antropomorfik, (2) metafora bercitra hewan, (3) metafora bercitra abstrak ke konkret, (4) metafora bercitra sinestesia atau pertukaran tanggapan/persepsi indra.
(a) Metafora Bercitra Antropomorfik
Metafora bercitra antropomorfik merupakan satu gejala semesta. Para pemakai bahasa ingin membandingkan kemiripan pengalaman dengan apa yang terdapat pada dirinya atau tubuh mereka sendiri. Metafora antropomorfik dalam banyak bahasa dapat dicontohkan dengan mulut botol, jantung kota, bahu jalan, dan lain-lain.
Adapun kata atau frase yang mengandung variasi makna metafora antropomorfik yang ada di surat kabar adalah:
KONTEKS DENOTATIF | KONTEKS DALAM SURAT KABAR |
1.a. Karena rajin berolahraga, badan si Anton terlihat kekar
|
1.b. Longsoran tanah menutupi badan jalan (artikel dengan judul (Hujan Deras, Pondasi Dua Rumah Longsor (Jawa Pos))
|
Dari data 1a dan 1b kita dapat melihat bahwa ada perubahan makna kata badan, yang semula berarti bagian tubuh manusia (animate), mejadi bagian dari jalan(inanimate). Penulis artikel dengan menulis kalimat ini berusaha menyamakan manusia dengan jalan dengan menggunakan persamaan yaitu sama-sama memiliki badan.
(b) Metafora Bercitra Hewan
Metafora bercitra hewan, biasanya digunakan oleh pemakai bahasa untuk menggambarkan satu kondisi atau kenyataan di alam sesuai pengalaman pemakai bahasa. Metafora dengan unsur binatang cenderung dikenakan pada tanaman, misalnya kumis kucing, lidah buaya, kuping gajah. Dalam metafora bercitra hewan diungkapkan oleh Parera (2004:120) bahwa manusia disamakan dengan sejumlah takterbatas binatang misalnya dengan anjing, babi, kerbau, singa, buaya, dst sehingga dalam bahasa Indonesia kita mengenal peribahasa “Seperti kerbau dicocok hidung”, ungkapan “buaya darat”, dan ungkapan makian ”anjing, lu”, dan seterusnya.
Adapun kata atau frase yang mengandung variasi makna metafora bercitra hewan adalah:
KONTEKS DENOTATIF | KONTEKS DALAM SURAT KABAR |
|
2.b. Kita negara berdaulat. Untuk mengembangkan sawit atau komoditas apapun tidak bisa diatur-atur asing dan membebek mereka apalagi Cuma LSM (Lawan Kampanye
Hitam Sawit (Republika)) |
Kata bebek pada data 2a merujuk pada sejenis unggas yang bertubuh tidak terlalu besar, biasanya berbulu coklat, bisa berenang dan diternakkan oleh petani. Sedang data 2b merujuk pada sebuah perbuatan yang menyerupai hewan bebek. Ada perubahan makna disini. Bebek biasanya bergerombol, mudah diatur karena jalannya kurang gesit, serta selalu mengikuti kemana langkah bebek dewasa atau pemimpin kelompok bebek tersebut. Sifat ini dianggap bercitra negatif karena menunjukkan kelemahan. Dengan menggunakan bebek yang lemah sebagai pembanding, bangsa Indonesia dimetaforakan sebagai bangsa yang lemah apabila mau saja diatur oleh bangsa asing
(c) Metafora Bercitra Konkret ke Abstrak
Metafora bercitra konkret ke abstrak, adalah mengalihkan ungkapan-ungkapan yang abstrak ke ungkapan yang lebih konkret. Seringkali pengalihan ungkapan itu masih bersifat transparan tetapi dalam beberapa kasus penelusuran etimologi perlu dipertimbangkan untuk memenuhi metafora tertentu. Dicontohkan oleh Parera, secepat kilat ‘satu kecepatan yang luar biasa’, moncong senjata ‘ujung senjata’, dan lain-lain.
Adapun kata atau frase yang mengandung variasi makna metafora bercitra abstrak ke konkret adalah:
KONTEKS DENOTATIF | KONTEKS DALAM SURAT KABAR |
3.a. Ilustrasi buku itu sangat menarik sekali, sangat lucu dan penuh warna
|
3.b. Koruptor itu kan punya 3 kekuatan, diantaranya duit. Anggodo itu kan salah satu ilustrasinya, tandasya (Judul artikel: KPK salahkan SBY (Suara Merdeka))
|
Pada data 3a terdapat kata ilustrasi yang berarti gambar atau penjelas untuk membantu memahami informasi yang disampaikan dalam buku. Makna ilustrasi ini berubah ketika ilustrasi berada pada konteks 3b. Pada data 3b, terjadi penyamaan benda konkret yaitu Anggodo dengan benda Abstrak yaitu ilustrasi sehingga menyebabkan benda konkret Anggodo menjadi benda abstrak dalam konteks tersebut. Metafora seperti inilah yan disebut metafora berciri abstrak ke konkret.
(d) Metafora Bercitra Sinestesia
Metafora bercitra sinestesia, merupakan salah satu tipe metafora berdasarkan pengalihan indra, pengalihan dari satu indra ke indra yang lain. Dalam ungkapan sehari-hari orang sering mendengar ungkapan “enak didengar” untuk musik walaupun makna enak selalu dikatkan dengan indra rasa; “sedap dipandang mata” merupakan pengalihan dari indra rasa ke indra lihat.
Adapun kata atau frase yang mengandung variasi makna metafora sinestesia adalah:
KONTEKS DENOTATIF | KONTEKS DALAM SURAT KABAR |
4.a. Taman itu dipenuhi oleh beraneka bunga yang baunya harum sekali
|
4.b. Nama Darwati begitu harum di tanah air (Mereka memanggilnya Latifah)
|
Pada data 4a dan 4b, terjadi perubahan makna kata harum. Pada data 4a, kata harum mengacu kepada sebuah sifat bau positif yang hanya bisa dikenali oleh indera penciuman. Pada 4b, terjadi penyimpangan makna dengan menyamakan nama dengan bunga yang mengeluarkan bau haum. Nama tidak dapat dicium baunya, sehingga muculnya kata harum setelah kata nama merupakan bahasa yang tidak sebenarnya atau yang kita kenal sebagai bahasa figuratif. Sifat yang dibandingkan adalah kedua entitas (bunga dan nama) dianggap memiliki sifat positif yang sama yaitu dapat dirasakan dari jarak yang jauh, serta diskai oleh banyak orang. Bau harum bunga dapat tercium dari tempat jauh. Demikian juga nama seseorang yang berjasa pada bangsa akan dapat dikenal dari jarak yang jauh juga.
E.2. Personifikasi
Personifikasi adalah perubahan makna yang disebabkan oleh pemakai bahasa menyamakan benda (inanimate) dan hewan/tumbuhan (animate) dengan manusia.Adapun kata atau frase yang mengandung variasi makna metafora personifikasi adalah:
KONTEKS DENOTATIF | KONTEKS DALAM SURAT KABAR |
5.a. Dengan kecepatan yang luar biasa, pendekar itu mengayunkan pedangnya untuk menebas batang bambu yang jatuh menimpanya
6.a. Karena dihujani tiap hari, rumput-rumput layu tersebut akhirnya segar kembali |
5.b. Beberapa ranting pohon patah ditebas angin (Dari Tambling untuk Iklim Dunia (Republika))
6.b. Ribuan meteor Lyrids diperkirakan jatuh bertubi-tubi menghujani atmosfer bumi (Jawa Pos). |
Pada data 5b dan 6b terdapat fenomena personifikasi dengan “menghidupkan” angin dan meteor dan menyamakannya engan manusia. Pada data 5b, kata angin digambarkan memiliki kemampuan seperti manusia yaitu melakukan kegiaan menebas. Demkian juga pada data 6b, kata meteor diletakkan dalam posisi memiliki kemampuan seperti manusia yaitu melakukan kegiatan menghijani sesuatu. Penghidupan dan pentamaan benda mati diatas menjadi seperti manusia inlah yang disebut personifikasi.
E.3. Metonimi
Kata metonimia diturunkan dari kata Yunani meta yang berarti menunjukkan perubahan dan onoma yang berarti nama. Dengan demikian, metonimia adalah suatu gaya bahasa yang mempergunakan sebuah kata untuk menyatakan suatu hal lain, karena mempunyai pertalian yang sangat dekat. Hubungan itu dapat berupa penemu untuk hasil penemuan, pemilik untuk barang yang dimiliki, akibat untuk sebab, sebab untuk akibat, isi untuk menyatakan kulitnya, dan sebagainya.
Metonimia disebut oleh Keraf (1992:142) sebagai bagian dari sinekdoke. Sinekdoke dibagi menjadi dua yaitu (1) pars pro toto dan totum pro parte: Pengungkapan keseluruhan objek padahal yang dimaksud hanya sebagian.
(1) Metonimia Pars Pro Toto
Pars Pro Toto adalah pengungkapan sebagian dari objek untuk menunjukkan keseluruhan objek. Adapun kata atau frase yang mengandung variasi makna metonimi Pars Pro Toto adalah:
KONTEKS DENOTATIF | KONTEKS DALAM SURAT KABAR |
7.a. Paman Sam datang dari Amerika dan memberiku oleh-oleh sebuah laptop produksi
IBM |
7.b. Amerika Serikat berduka. Dorothy Irene Height, perintis gerakan Hak Asasi Manusia Negeri Paman Sam tutup usia. (Judul Artikel: Godmother Gerakan HAM Amerika Serikat (Jawa Pos))
|
Frasa Paman Sa pada data 7a secara denotatif dimaknai sebagai nama seorang laki-laki dewasa. Namun ketika frasa Paman Sam digunakan pada konteks 7b, maknanya berubah. Pada konteks ini, Paman Sam mengacu pada sebuah negara, karena frasa Paman Sam adalah nama lain dari negara Amerika Serikat. Fenomena ini yang disebut Pars Pro Toto, yaitu fenomena ketika dipakai dalam konteks denotatif mengacu pada satu orang, namun ketika berada dalam konteks bahasa figuratif, mengacu pada sebuah negara yang di dalamnya dihuni
jutaan orang.
(2) Totum Pro Parte:
Totum Pro Parte adalah pengungkapan keseluruhan objek padahal yang dimaksud hanya sebagian. Adapun kata atau frase yang mengandung variasi makna metonimi Totum Pro Parte adalah:
KONTEKS DENOTATIF | KONTEKS DALAM SURAT KABAR |
8.a. Ada berita menggembirakan dalam dunia oomotif. Dua pabrik otomotif akan meluncurkan produk andalan mereka dengan pangsa pasar berbeda. Yamaha akan mengeluarkan produk sepeda motor matic baru dengan label Mio sedang Honda akan meluncurkan produk APV Xenia sebanyak 1000 unit di
Indonesia
9.a. Rohaniawan di Negara Amerika Serikat resah mendapati sebuah hasil penelitian yang menyatakan bahwa dua pertiga rakyat Amerika Serikat atheis
|
8.b. Menurut Nano, seusai ditabrak Xenia, bus masih melaju dan akhirnya menabrak Mio (Judul artikel: Xenia Tabrak Bus, Dua Tewas
(Suara Merdeka))
9.b. Amerika Serikat berduka. Dorothy Irene Height, perintis gerakan Hak Asasi Manusia Negeri Paman Sam tutup usia. (Judul Artikel: Godmother Gerakan HAM Amerika Serikat (Jawa Pos))
|
Data 8b dan 9b adalah kebalikan dari data 7b. Jika pada data 7b kata Paman Sam mewakili seluruh masyarakat Amerika Serikat yang ini berarti kata khusus digunakan dalam kontekls umum, maka pada 8b dan 9b kita melihat kata Xenia, Mio dan Amerika Serikat merupakan kata umum yang digunakan dalam konteks khusus. Kata Xenia dan Mio adalah sebuah produk dari sebuah pabrik otomotif. Tidak jelas Xenia dan Mio yang mana karena bisa merujuk pada Xenia dan Mio yang mana saja. Bisa berupa Xenia dan Mio produk keluaran lama, atau berwarna merah atau yang dilengkapi dan jumlahnya satu atau banyak, atau seluruh Mio dan Xenia yang ada di dunia, padahal yang terlibat dalam kecelakaan jelas hanya sebuah Mio dan Xenia yang definit. Demikian juga pada data 9b, penulis menggunakan kata Amerika Serikat berduka untuk menimbulkan efek tertentu. Padahal, yang berkabung dalam konteks ini tidak semua warga Amerika Serikat. Hanya sebagian saja yang mengalami perasaan tersebut.
E.4. Generalisasi
Generalisasi atau perluasan makna adalah proses perubahan makna kata dari yang lebih khusus ke yang lebih umum (Suwardi, 2008). Adapun kata atau frase yang mengandung variasi makna generalisasi adalah:
KONTEKS DENOTATIF
|
KONTEKS DALAM SURAT KABAR
|
10.a. Sang raja menitahkan para punggawanya untuk menumpas pemberontakan yang terjadi di daerah tapal batas
11.a. Meskipun Bali telah mengalami kemajuan yang pesat dalam kebudayaan, namun tetap saja fenomena perbedaan kasta dijumpai disana meskipun tidak banyak 12.a. Karirnya di dunia militer lumayan cemerlang. Tidak berapa lama, pangkat kapten telah diraihnya 13.a. Untuk mempertahankan wilayah kekuasaannya, kaisar Cina membangun benteng besar dan panjang yang kemudian kita kenal sebagai Tembok Besar Cina |
10.b. Punggawa Barcalona sangat gusar kepada Olegario Benquerenca (Keputusan Janggal Reduksi Peluang (Jawa Pos))
11.b. Karena ada kastanisasi yang berdasarkan pada kompetensi, biaya mahal RSBI itu wajar ujarnya (Kemendiknas Belum Atur Biaya RSBI (Jawa Pos)) 12.b. Kapten Tim, Nikki Tiffany menjadi andalan mendulang poin (Dramatis (Jawa Pos))
13.b. Juara Spanyol itu gagal menembus ketatnya benteng pertahanan Inter yang dikawal Lcio (Siap Revans di Nou Camp (Jawa Pos))
|
Kata punggawa, kasta, kapten, dan benteng yang ada pada data10a, 11a, 12a, 13a sebenarnya adalah kata-kata yang bernuansa khas. Paunggawa dijaman dahulu merujuk pada jabatan keprajuritan kerajaan. Kasta adalah terminologi bermuatan budaya yang ada dalam agama Hindu yang mengacu pada pembagian kelas sosial masyarakat. Kapten adalah pangkat dalam ketentaraan dan benteng adalah nama tempat untuk bertahan dari serangan musuh. Namun, sejalan dengan perkembangan jaman, makna kata-kata di atas berubah. Punggawa kiti tidak hanya dipakai dalam kerajaan. Dalam permainan sepak bola juga dipakai untuk merujuk pada orang yang memilik peran besar dalam sebuah tim sepak bola. Kata kasta yang sebelumnya hanya digunakan oleh orang hindu, kini dipakai secara umum untuk merujuk pada pembagian atau hirarki dalam kelompok dengan tidak melandaskan pembagian tersebut pada agama dan budaya namun lebih kepada kemajuan atau perkembangan sesuatu atau seseorang. Kata kapten yang semula dipakai dalam dunia militer, kini dipakai secara umum untuk mengacu pada jabatan pemimpin. Benteng, tidak lagi bermakna bangunan kokoh untuk berlindung dari serangan musuh, tapi leih berorientasi pada aspek pertahanan saja dan bukan pada aspek gedung atau bangunan.
E.5. Spesialisasi
Splesialisasi adalah proses perubahan makna dari yang lebih umum ke yang khusus (Suwardi, 2008)
Adapun kata atau frase yang mengandung variasi makna spesialisasi adalah:
KONTEKSDENOTATIF | KONTEKS DALAM SURAT KABAR |
14.a. Dinasti Abbasiah tidak hanya dikenal karena kekuatan tentaranya, namun jaman ini dikenal karena telah sukses melahirkan sarjana-sarjana terkenal dalam banyak bidang ilmu 15.a. di jaman penjajahan Belanda dulu, pribumi yang bersekolah di madrasah-madrasah benar-benar diawasi agar tidak menjadi pemberontak dan menentang penjajahan | 14.b. Tujuan visitasi tersebut menurut Humas Unisri Ikka Litnaniyah adala sebagai sebagai peningkat akreditasi dalam proram studi untuk program sarjana (FISIP Visitasi Program Studi (Suara Merdeka)) 15.b. Yang tidak kurang pentingnya adalah perubahan kelembagaan pada tingkat madrasah aliyah (MA), baik di pesantren maupun bukan berbasis pesantren |
Kebalikan dari generalisasi, spsialisasi adalah proses penyempitan makna, dari semula bermakna umum menjadi khas seperti yang dapat kita lihat pada data 14b dan 15b. Kata Sarjana pada data 14a yang bermakna cendikiawan dijaman dulu, beralih makna menjadi lulusan perguruan tinggi. Demikian juga kata madrasah pada 15a yang bermakna sekolah umum, mengalami penyempitan maknapada data 15b. Makna trerkini dari madrasah adalah sekolah yang Islam.
E.6. Asosiasi
Kata asosiasi antara lain berarti tautan dalam ingatan pada orang atau barang lain: pembentukan hubungan atau pertalian gagasan, ingatan, atau kegiatan pancaindera (Suwandi, 2008)
Adapun kata atau frase yang mengandung variasi makna asosiatif adalah:
KONTEKS DENOTATIF | KONTEKS DALAM SURAT KABAR |
16.a. Bapak kemarin membelikan dik Umi boneka Lumba-lumba yang lucu dan berwarna
merah muda |
16.b.Pasalnya, ormas Islam itu jangan sampai dijadikan boneka kepentingan politik kekuasaan (Judul artikel: Din Syamsudin Siap Jadi Sasaran Tembak (Suara
Merdeka)) |
Pada data 16a, kata boneka dimaknai secara denotatif sebagai sebuah mainan anak-anak berwujud tiruan dari manusia atau hewan yang biasanya terbuat dari bahan kain, plastik, atau busa. Ketika kata ini dipakai dalam kontek 16b, kata boneka mengalami perubahan makna karena fenomena asosiasi, yaitu fenomena penyamaan ormas Islam dengan boneka karena emliki karakter yang sama yaitu dapat dimainkan sesuka hati.
E.7. Ameliorasi
Peninggian makna atau ameliorasi adalah proses perubahan makna yang mengakibatkan makna baru dirasakan lebih tinggi, lebih hormat, atau lebih baik nilainya daripada makna yang lama atau semula (Suwandi, 2008)
Adapun kata atau frase yang mengandung variasi makna amelioratif adalah:
KONTEKS DENOTATIF | KONTEKS DALAM SURAT KABAR |
17.a. Sidang perdata pak Anton dihakimi oleh Daniel Parera, M.H
|
17.b. Untoro (38) warga desa Glodogan, kecamatan Klaten Selatan babak belur dihakimi
warga (Suara Merdeka)) |
Makna sebenarnya dari kata dihakimi pada 17b adalah adalah dihajar sampai babak belur oleh masyarakat. Penulis artikel melakukan peninggian makna dengan mengganti kata berkonotasi negatif dihajar sampai babak belur menjadi dihakimi yang lebih bernuansa negatif seperti yang ada pada data 17a.
E.8. Peyorasi
Penurunan makna atau peyorasi adalah proses perubahan makna yang mengakibatkan makna baru atau makna sekarang dirasakan lebih rendah, kurang baik, kurang menyenangkan, atau kurang halus nilainya daripada makna semula (lama) (Suwandi, 2008)
Adapun kata atau frase yang mengandung variasi makna peyoratif adalah:
KONTEKS DENOTATIF | KONTEKS DALAM SURAT KABAR |
18.a. Kera yang keluar dari kandangnya itu ahirnya berhasil diringkus oleh karyawan penjaga kebun binatang
19.a. Bu Hani sangat kesal dengan ulah anak didiknya. Di plototinya mereka satu persatu dan wajah anak-anak itupun tertunduk ketakutan. 20.a. Andi tidak dapat memejamkan matanya sedikitpun. Di hutan itu, ia merasa ketakutan mendengar suara hewan aneh yang berkoar-koar di malam hari |
18.b. Kemarin polisi meringkus Amirul Yusuf Suharto (Judul artikel: Pencuri Berkas Pajak Tertangkap (Jawa Pos))
19.b. DKK plototi jajanan di sekolah (judul (Jawa Pos)) 20.b. Anda akan melihat Messi sebenarnya” Koar Pep, sapaan Guardiola seperti dilansir dari goal |
Dengan menggunakan kata meringkus pada 18b, penulis artikel ingin menyamakan Amirul Yusuf Suharto dengan monyet pada data 18a. Kata netral yang seharusnya dipakai adalah kata menangkap. Dengan dipilihnya kata meringkus dari pada menagkap, penulis terlihat seakan menganggap Amirul seperti hewan buas dan nakal yaitu monyet. Kata plototi pada data 19b juga berkonotasi negatif. Kata netral yang seharusnya digunakan adalah melihat. Dengan menggunakan kata meloto, penlis berusaha membangun makna bahwa kata melotot yang dilakukan oleh Dinas Kebersihan dan Kesehatan adalah melihat dengan sungguh-sungguh. Demikian juga pada data 20b, penulis membangu makna fguratif dengan menggunakan kata Koar (yang biasanya ditujukan pada hewan) dan melekatkannya Guardiola untuk menggantikan kata “berkata”
E.9. Variasi Makna Hasil Pungutan
Dalam variasi makna hasil pungutan, leksikon maupun nilai budaya yang dikandung bukan asli Indonesia, melainkan leksikon yang sekaligus bernilai buaya asing atau daerah.
Adapun kata atau frase yang mengandung variasi makna hasil pungutan adalah:
KONTEKS DENOTATIF | KONTEKS DALAM SURAT KABAR |
21.a. Hari ini benar-benar merupakan hari mujur bagi Paimin. Setiap kali senar pancingnya dilempar ke air, setiap kali itu pula umpannya dicaplok ikan
22.a. Komandan kompi memerintahkan anak buahnya mencopot segala atribut yang berhubungan dengan tanda pengenal kesatuannya. 23.a. Anak-anak Inggris itu belajar quick count di kelas matematika mereka |
21.b. Ini akibat sikap pragmatisme dari partai yang tak mau memberikan kaderisasi sehingga main caplok saja (Judul artikel: Usulan Menagri Untungkan Birokrat (Suara Merdeka))
22.b. Poltak enggan berkomentar tentang pencopotan dirinya dari kursi Kejati Maluku (Jawa Pos)) 23.b. Karena itulah muncul inisiatif membuat quick count di seluruh TPS Di kecamatan Jebres (Jebres Siapkan Quick Count (Jawa Pos)) |
Seperti yang terlihat pada data 21-23, terkihat banyak sekali perubahan makna yang muncum akibat dipinjamkannya leksem dari bahasa lain seperti bahasa daerah dan Inggris. Disini kita dapat melihat bahwa wartawan berusaha membangun makna baru dengan cara meminjam beberapa leksem dari bahasa di luar bahasa Indonesia.
E.10. Variasi Makna Kompleks
Variasi Makna Kompleks Terbentuk dari rangkaian perubahan makna. Seperti contoh
KONTEKS DENOTATIF | KONTEKS DALAM SURAT KABAR |
23.a. Untuk memeriahkan acara ulang tahun adik, ibu menghiasi rumah dengan balon warna warni
|
23.b. Sementara itu, kubu bakal calon (balon) ketua umum Andi Mallarangeng, akan menempatkan SBY dalam posisi hermanen (Pendukung Ingin Demokrat Jadi Partai
Kader) |
Pada data 23a, kata balon dimaknai sebagai benda bulat terbuat dari karet berwarna warni yang didalamnya berisi udara. Kata ini mengalami perubahan mana yang sangat menyimpang dari makna dasarnya, bukan karena proses penyamaan atau asosiasi, tapi fenomena ini terjadi karena adanya proses akronimisasi (atau tepatnya blending) dari kata balon. Kata balon pada 23b merupakan fenomena proses blending dari dua satuan lingual yaitu kata bakal yang dipotong bertasarkan silabus dan diambil suku pertamanya saja, serta kata calon, yang diambil suku kata kedua dan membuang suku kata pertama. Proses yang agak rumit ini karena selain melibatkan perubahan makna kata juga melibatkan fenomena pembentukan kata baru yaitu blending, maka fenomena ini kemudian disebut Variasi Makna Kompleks.
E.11. Variasi Makna karena Homonimi
Kata homonimi berasal dari bahasa Yunani kuno onoma yang artinya ‘nama’ dan homo yang artinya ‘sama’. Secara harfiah kata homonimi dapat diartikan sebagi “nama sama untuk benda atau hal lain”. Secara semantik, Verhaar (2008) memberi definisi homonimi sebagai ungkapan (berupa kata, frasa atau kalimat) yang bentuknya sama dengan ungkapan lain (juga berupa kata, frasa atau kalimat) tetapi maknanya tidak sama. Hubungan antara dua buah kata yang homonim bersifat dua arah.
Adapun contoh variasi makna karena Homonimi adalah sebagai berikut:
KONTEKS UNTUK MAKNA 1 | KONTEKS UNTUK MAKNA 2 |
24.a. Dengan terpaksa, si Abu pergi juga kepasar dengan mengendarai sepeda
25.a. Untuk mendapatkan bisa ular yang akan dipakai sebagai penawar racun, tidak bisa tiak kita harus berburu ular di hutan 26.a. Karena berat dan tidak ada seoangpun yang membantu, karung beras itu akhirnya diseret perlahan-lahan oleh si anak kecil |
24.b. Gunung di Gletser Eyjafjallajokull menyemburkan abu vulkanik (Gunung lain Berpoternsi Meletus (Republika))
25.b. Karena itu penyidik tidak bisa memaksakan pemeriksaan selesai dalam satu atau dua hari (Terima Piala, Susno Menangis (Jawa Pos)) 26.b. Keluarnya dana dibuat seret sehingga para penyelenggara Pemilu tidak bisa melakukan persiapan optimal (Incumbent dan Dana Pilkada (Jawa Pos)) |
Dari data 24 da 25, kita dapat melihat fenomena terjadinya variasi makna yang disebabkan karena Homonimi. Kata Abu yang bermakna nama orang mengalami variasi makna ketika kata ini masuk kedalam konteks 24.b, yang dimaknai sebagai partikel kecil sejenis tanah yang berterbangan karena proses meletusnya gunung berapi. Demikian juga pada data 25.a, yaitu kata bisa yang berarti racun ular mengalami variasi makna ketika berada dalam konteks 25.b. Dalam konteks 25b, kata bisa, diartikan sebagai sebuah kemungkinan, atau kesanggupan untuk melakukan sesuatu. Fenomena ini yan disebut Homonimi Homofon.
Berbeda dengan data 25 dan 26, pada data 27 terdapat variasi makna yang disebabkan oleh berbedanya pengucapan dari kata seret. Pada data 27a, ata seret dibaca [sêrêt] yang memiliki pengertian yaitu memindahkan sesuatu dengan cara menariknya. Sedang pada kata seret dalam contoh 27b, yang dibaca seret, memiliki makna sulit atau sukar untuk keluar. Fenomena in yang disebut Homonimi Homograf
E.12. Variasi Makna karena Polisemi
Polisemi lazim diartiakan sebagai satuan bahasa (terutama kata, bisa juga frase) yang memiliki makna lebih dari satu. Umpamanya, kata kepala dalam bahasa Indonesia memiliki enam makna. Namun, makna–makna yang banyak dari sebuah kata yang polisemi itu masih ada sangkutpautnya dengan makna asal, karena dijabarkan dari komponen makna yang ada pada makna asal kata tersebut.
Adapun contoh variasi makna karena Polisemi adalah sebagai berikut:
KONTEKS UNTUK MAKNA 1 | KONTEKS UNTUK MAKNA 2 |
27a. Meskipun memiliki anak sepuluh, pak Sutris tidak pernah kerepotan menguusi anak-anak kandungnya. Dengan berpedoman pada falsafah lama banyak anak banyak rejeki,
dijalaninya kehidupannya dengan riang gembira 28.a Kepala beberapa polisi robek karena terkena lembaran batu dalam demonstrasi pada hari sabtu tersebut |
27.b. “Kalau pimpinan memutuskan seperti itu, kita laksanakan. Saya kan anak buah,” elak Poltak. (Jaksa Gayus Dicopot (Jawa Pos))
28.b Sementara itu, kepala dinas pendidikan Kabupaten Bintan, Ismail, mengakui kalau pendidikan belum sampai menjangkau pulau Pejantan |
Data 27 dan 28 merupakan contoh variasi makna arena polisemi. Pada data tersebut terlihat, meskipun terdapat variasi makna, namun esensi dari variasi terseut tetap sama, seperti anak kandung dengan anak buah, meskipun makna secara umum berbeda namun secara esensi dua kata ini memiliki makna sama yaitu
turunan dari sesuatu, bisa berupa orang tua, maupun pimpinan di atasnya. Demikian juga kata kepala dan kepala Dinas (28a dan 28b), meskipun memiliki makna berbeda, namun makna intinya sama yaitu sesuatu yang berada di atas.
F. SIMPULAN
Dari paparan yang telah disampaikan di atas kita dapat menyimpulkan beberapa hal antara lain:
- Dalam tiga surat kabar yang diteliti, dijumpai banyak sekali variasi makna atau yang biasa disebut bahasa figuratif bahasa figuratif yang dijumpai adalah: metafora, metonimi, personifikasi, ameliorasi, peyorasi, spesialisasi, dan generalisasi
- Terdapat juga variasi makna yang muncul karena memungut bahasa asing
- Fenomena variasi makna kompleks dapat juga dijumpai pada salah satu dari ketiga koran tersebut meskipun tidak banyak bahasa figuratif yang paling banyak dijumpai adalah metafora
- Dengan ditemukannya banyak bukti keberadaan variasi makna di surat kabar, semakin memperjelas pernyataan bahwa surat kabar adalah pabrik kata
- Apa yang dikatakan Wahab (1986) yang menyatakan banyak kata kasar dijumpai dalam media massa adalah benar adanya.Kita dapat melihat contoh kata kasar ini pada bagian peyorasi seperti kata meringkus, mencopot, melotot, digunakan dalam surat kabar.
REFERENSI
Chaer, Abdul. 1989. Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
Lyon, John. 1977. Semantics Volume I. Cambridge: Cambridge University Press
Pradopo, Rahmat Djoko. 1994. Stilistika dalam Buletin Humaniora No.1 tahun 1994.Yogyakarta: Fakultas Sastra UGM.
Shaw, Harry. 1972. Dictionary of Literary Terms. New York: McGraw-Hill Book Co.
Sumarsono.2007. Pengantar Semantik. . Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Suwandi, Sarwiji. 2008. Semantik: Pengantar Kajian Makna.Yogyakarta: Media Perkasa
Wahab, Abdul. 1986. Kesemestaan Metafora Jawa. Malang: IKIP Malang
Verhaar, J.W.M. 2008. Asas-asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Demikianlah artikel mengenai Variasi Makna Bahasa Indonesia, semoda dapat memberikan manfaat bagi Anda mengenai kekayaan makna dalam bahasa Indonesia. Baca juga artikel mengenai Variasi Majas Bahasa Indonesia. Akses-Ilmu.
No comments